Kamis, 12 Oktober 2023

BERDO’A/MENYERU KEPADA MAHLUK HAKIKATNYA MENYERU SESUATU YANG DICIPTAKAN TIDAK DAPAT MENCIPTAKAN.

 

BERDO’A/MENYERU KEPADA MAHLUK HAKIKATNYA MENYERU SESUATU YANG DICIPTAKAN TIDAK DAPAT MENCIPTAKAN.

Ayyuhal ikhwah, pembahasan berikut adalah bahasan umum sebagai fondasi utama dalam hakikat kesyirikan, ini  bersifat ‘Aam (umum) bukan dalam sifat-sifat khosnya sehingga harus difahami ini agar tidak tersilaf atau di bingungkan dengan perkara-perkara khosnya yang dalam perincianya kadang sesuatu itu dapat dibenarkan dan bukan bagian dari sesuatu yang diharamkan. Orang-orang jahil dari kalangan ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu berdalil dengan perkara-perkara khos untuk membathalkan hukum-hukum yang padanya termasuk pada perkara ‘aam sehingga menghalalkan yang haram dalam kesyirikan.

Dalam teologi nya maka, Malaikat, Nabi, Waliyullah, Orang-orang shalih, berhala dan lain sebagainya yang mereka mempersekutukanya dengan allah ta’ala, mereka tidak dapat menolong orang-orang yang menyerunya bahkan menolong diri mereka sendiripun mereka tidak mampu. Sebagaimana allah ta’ala berfirman :

أَيُشْرِكُونَ مَا لا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ .وَلا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ

Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan. Al A’raaf (7) : 191-192.

وَاتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ وَلا يَمْلِكُونَ لأنْفُسِهِمْ ضَرًّا وَلا نَفْعًا وَلا يَمْلِكُونَ مَوْتًا وَلا حَيَاةً وَلا نُشُورًا

Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan. Al Furqaan (25) : 3

قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman." Al A’raaf (7) : 188

قُلْ إِنِّي لا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلا رَشَدًا .قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا .إِلا بَلاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالاتِهِ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا

Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan." Katakanlah: "Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorangpun dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali aku tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya."  Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Al Jin (72) : 21-23.

Cukuplah dengan dalil-dalil tersebut bahwa semua mahluk tidak dapat memberikan pertolongan kendati mereka menyangka bahwa sembahan-sembahan atau berhala-berhala itu adalah sebagai tuhan pencipta namun kita saksikan bersama bahwasahnya apa-apa yang mereka anggap sebagai tuhan itu adalah hakikatnya adalah mahluk, orang-orang hindu menyembah shiwa, brahma, khana, sapi, gangga dan lain sebagainya dan kita pastikan bahwa ashalnya mereka adalah sesuatu yang diciptakan tidak dapat menciptakan. Agama budha, mereka menyembah  Sang Hyang Adi, Parama Buddha, Hyang Tathagata dan lainnya yang juga diketahui bersama bahwa mereka semua adalah asalnya sebagi manusia biasa. Dalam literatur agama hindu dan budha dewa dan dewi asalnya adalah manusia biasa yang mereka di anugerahi wahyu, hikmah, karomah atau apapun sebutanya yang intinya mereka memiliki kelebihan dalam dirinya daripada manusia lainya, dalam kedudukannya, kepintaranya, kebijaksanaanya dan keutamaan-keutamaan lainya sehingga diakui oleh pengikutnya sebagai sesuatu yang layak bahkan harus di ikuti.

Yahudi dan kristen, mereka pun sama yaitu mereka menjadikan mahluk sebagai tuhan. Mereka menyembah malaikat, nabi pendeta (waliyullah) atau orang-orang shalih diantara mereka itu. Sebagian dari mereka berdalil bahwa ia adalah anak allah, dan mariam itu ibunya. Itulah keutamaanya sehingga pantas untuk dipertuhankan. Begitupun sebagaian kaum muslimiin yang mengaku sebagai umatnya nabi muhammad mengikuti jalan mereka itu dengan alasan karena orang-orang shalih itu memiliki keutamaan, karomah atau apapun namanya sehingga yang mereka anggap sebagai waliyullah itu dianggap memiliki sifat-sifat “Rubbubiyah (Ketuhanan)” sehingga mereka berdo’a di kuburan-kuburan mereka itu dan beribadah atau memberikan persembahan-persembahan di tempat-tempat yang dianggap keramat (memiliki keutamaan) itu. Diantara mereka ada yang berdalil dengan syafaat nabi, dan syafaat orang-orang shaleh. Namun antara dalil dan maksud perbuatan tidaklah seiringan tidak lebih mereka hanya meng ada-ada di dalamnya sebagaimana yahudi dan kristen itu mengada-ada. Mereka memasang lukisan, photo, simbol dan lain sebagainya, tidak hanya di tempatkan di tempat-tempat yang dianggap mulia, mereka menggantungnya di dinding rumah, mereka membuatnya dalam bentuk rupaka-rupaka kecil baik dalam tulisan, photo atau benda lainya untuk memudahkan mereka membawanya di dompet, di kalung, sabuk gelang cincin dan lain sebagainya.

Begitu juga agama-agama “pagan” atau paganisme, mereka menyembah mahluk. Diantaranya agama shinto, mereka menyembah matahari. Agama majusi, mereka menyembah Api. Yang juga termasuk didalamnya adalah Animisme dan dinamisme para penyembah roh dan benda mati. Paganisme adalah istilah yang dipakai oleh orang-orang yahudi dan kristen untuk agama-agama selain agama ibrahimik (islam). Kaum pagan, mereka meyembah mahluk  lalu fakta sejarah menjadi bukti bahwa akhirnya anak adam berulang disesatkan oleh syetan sehingga menyembah mahluk dan allah ta’ala pun mengutus kembali nabi dan rasul sebagai pemberi peringatan bahwa apa-apa yang mereka persekutukan selain daripada allah itu adalah lemah, mereka tidak dapat memberikan pertolongan, bahkan mereka itu diciptakan dan sesungguhnya mereka tidak dapat menolong diri mereka sendiri. Tidak dapat menghidupkan dan mematikan dan sesungguhnya mereka itu mati.

Mereka menyeru atau berdo’a kepada mahluk-mahluk itu dengan berbagai macam bentuk persembahan, dengan cara-cara tertentu baik yang bentuknya sesuatu bid’ah yang hakikiyah maupun yang idhafiyah. Mempersembahkan jamuan, makanan dan sembelihan, berpesta dan makan-makan. Sedang mereka dalam keyakinan bahwa perbuatanya itu adalah suatu ikhtiyar dalam pengharapanya untuk suatu hajat agar dapat tercapai. Na’am seperti itulah hakikat keadaan orang-orang yang mempersekutukan allah ta’ala dari kalangan paganisme, hindu, budha, yahudi, kristen dan umat islam saat ini. “Mereka menyeru Mahluk, Mereka Diciptakan tidak dapat menciptakan”.

*Sukabumi*D2n*05/10/2023.

YANG MEREKA SERU SELAIN ALLAH TA’ALA TIDAK MEMILIKI SESUATU APAPUN WALAU SETIPIS KULIT ARI

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ .إِنْ تَدْعُوهُمْ لا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. Faathir (35) : 13-14.

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ شَيْئًا وَلا يَسْتَطِيعُونَ

Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun). An Nahl (16) : 73

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ .وَلا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ عِنْدَهُ إِلا لِمَنْ أَذِنَ لَهُ حَتَّى إِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ

Katakanlah: " Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu sahampun dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa'at itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata "Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhan-mu?" Mereka menjawab: (Perkataan) yang benar", dan Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.  Saba (34) : 22-23

Sesungguhnya apa-apa yang disembah selain allah dari kalangan malaikat, nabi, waliyullah, orang-orang shaleh, arwah benda-benda yang dijadikan berhala itu tidak mempunyai sesuatu apapun dari kekuatan, dari dzat bahkan atas sesuatu apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri bahkan diri mereka itu dimiliki sedang apa-apa yang diseru selain allah ta’ala itu tidaklah memiliki. Allah ta’ala menegaskan dalam ayat diatas itu bahwa mereka itu lemah selemah-lemahnya mereka tidak berkuasa atas diri mereka sendiri, lantas bagaimana orang-orang musyrik itu menyagka bahwa apa-apa yang disembah selian allah ta’ala itu memiliki sifat-sifat kerubbubiyahan ? diantara sifat-sifat rubbubiyah itu adalah :

1.       Mengabulkan do’a atau memenuhi permohonan.

2.       Mendengarkan seruan setiap mahluk.

3.       Menciptakan segala sesuatu.

4.       Mengatur segala sesuatu.

5.       Memberi Rizki.

6.       Menghilangkan keburukan dan mendatangkan manfaat

7.       Dan lain-lain sebagainya yang hanya dapat dilakukan oleh Rab sekalian alam.

Allah ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ.

Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Faathir (35) : 13.

Jaringan kulit manusia terdiri dari tiga lapis ; 1. Epidermis 2. Dermis 3. Jaringan Subkutan. Kulita ari adalah Epidermis yaitu lapisan kulit terluar dan tertipis yang tidak memiliki pembuluh-pembuluh syaraf dan darah. Maha besar allah ta’ala yang telah memberikan perumpamaan ini. Allah ta’ala maha luas ilmu dan pengetahuanya mengabarkan dengan detail dan spesifik penyebutanya sehingga manusia mengetahui dan menjadi pelajaran bukan hanya dalam ilmu ketuhanan akan tetapi juga pelajaran untuk sains dan medis.

Imam Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya, Kata قطمير adalah kulit tipis yang putih (kulit ari). Demikian pendapat yang dikemukakan sebagian besar ahli tafsir. Lihat tafsir Ath Thabari(22/82), Tafsir lbnu Katsir (13/164. ) dan tafsir ibnu athiyah (13/164). Ini juga adalah pendapat sebagian besar para ahli bahasa.

Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Atha, al hasan dan Qatadah, Lafadz Qithmiir dalam ayat ini adalah Kulit Tipis pada Biji Kurma.  

Lantas bagaimana bisa orang-orang musyrik itu menisbatkan sifat-sifat rubbubiyah kepada mahluk sedang kulit yang tipis yang melindungi diri-diri merekapun tidak mereka miliki ? Allah ta’ala yang menciptakanya dan allah ta’ala yang melindungi diri-diri mereka dengan memberikan nya kulit yang sempurna. Pohon-pohon itu di berikan kulit untuk melindungi batang kayu didalamnya sebagaimana patung-patung berhala itu dilapisi dan dibentuk oleh pembuatnya. Bagaimana mereka melindungi sedang mereka pun dilindungi dan memerlukan perlindungan ? sebagian dari penyembah kubur beralasan bahwa mayit-mayit itu bisa mendengar sehingga mereka membolehkan menyeru/berdo’a kepadanya dengan alasan tersebut, ketahuilah kesyirikanya adalah karena mereka meyakini mendengarnya mayit-mayit ini dengan keyakinan mampunya mahluk-mahluk ini menjawab seruan dan mengabulkan, menghilangkan keburukan dan mendatangkan kebaikan. Sedangkan menjadikan selain Allah ta’ala sebagai perantara antara dirinya adalah menafikan allah ta’ala as sami’ (Maha Mendengar) dan Allah ta’ala Al Aliim (Maha mengetahui). Allah ta’ala maha mendengar setiap seruan dari semua hamba tidak ada satupun mahluk memiliki kemampuan ini, diantara syubhat mereka adalah mayit bisa mendengar maka tanyakanlah kepada mereka itu apakah mayit-mayit itu memiliki kemampuan mendengar segala seruan yang di serukan kepada mereka itu dari semua orang-orang yang menyeru kepada mereka ? tentunya ini adalah perkara yang mustahil, ada trilyunan manusia di muka bumi ini yang seandainya satu juta dari penduduknya menyeru kepada satu mayit itu bagaimana ia mendengarkan seruan-seruan itu ? jika mereka mengatakan ya, mayit itu mendengar jutaan seruan itu, maka ini kesyirikan karena hanya allah ta’ala yang memiliki kemampuan ini. Jika dalam hal mendengarkan seruan saja mereka lemah, maka, bagaimana mereka dapat menjawabnya, mengabulkanya atau menyampaikan jutaan seruan yang dipanjatkan melalui perantaraanya itu. Maha suci Allah Ta’ala. Apakah mereka menyangka bahwa ada yang luput dari pengetahuan allah ta’ala ? apakah orang-orang musyrik itu menyangka Allah ta’ala tidak mengetahui sesuatu yang di panjatkan melalui perantara-perantara itu ? (Yunus(10) : 18).

Inilah hakikat kesyirikan itu dan tidak ada keraguan padanya.

وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ.

Dan dihari kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. Faathir (35) :14.

Sukabumi*D2n*09/10/2023.

BAHKAN MALAIKAT TIDAK MEMILIKI SESUATU APAPUN WALAU SETIPIS KULIT ARI

Firman Allah ta’ala :

وَعَلَّمَ آدَمَ الأسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلائِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ .قَالُوا سُبْحَانَكَ لا عِلْمَ لَنَا إِلا مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ .قَالَ يَا آدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَائِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!". Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?" Al Baqarah (2) : 31-33

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang maha mengetahui, maha mendengar, mengetahui segala rahasia yang ada dilangit dan dibumi, kecuali allah ta’ala. Allah ta’ala mengetahui dan mendengar setiap do’a yang dipanjatkan dengan suara keras, bisikan maupun di sembunyikan dalam bathin setiap hamba. Allah ta’ala menegaskan bahwa malaikat-malaikat itu tidak memiliki kemampuan ini. Lantas bagaimana orang-orang musyrik itu menisbatkan sifat – sifat robbaniyah itu kepada mahluk lainya selain malaikat ?

Ayyuhal ikhwah, masih berkaitan dengan pembahasan bab sebelumnya. Bahwa menyeru /berdo’a kepada selain Allah ta’ala hakikatnya adalah Menyeru/berdo’a kepada sesuatu yang tidak dapat menciptakan. Imam Qurthubi dalam tafsir Qur’an Surat Faathir (35) : 13 menyebutkan makna : 

مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ.

“Tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis Kulit Ari” Maksudnya adalah, berhala-berhala itu tidak mampu untuk mencipta.

            Malaikat-malaikat itu tidak dapat mendengar segala permohonan mahluk-mahluk lainya kecuali apa-apa yang di idzinkan allah ta’ala. Pendengaran mereka terbatas tidak melingkupi seluruh alam ini. Mereka tidak mengetahui segala sesuatu melainkan hanya apa-apa yang di idzinkan allah ta’ala untuk mengetahuinya. Manusia mendengar dan melihat tapi ada batasan pendengaran dan penglihatan itu, manusia hanya dapat melihat dan mendengar sebatas apa yang di idzinkan oleh allah ta’ala begitupun malaikat demikianlah keadaanya walaupun tingkat kemampuan antara masing-masing manusia, Jin dan malaikat memiliki tingkat batasan yang berbeda-beda.

Inti dari pembahasan ini adalah, bahwa malaikat tidak mempunyai sifat robbaniyah sehingga ia adalah kesyirikan padanya jika manusia menyangka bahwa malaikat mempunyai kemampuan untuk mendengar semua seruan-seruan dari banyaknya mahluk yang ada dimuka bumi. Ini baru dalam hal mendengarnya yang hanya allah ta’ala yang memiliki asma dan sifat “Maha mendengar” itu. Belum lagi jika diyakini bahwa malaikat-malaikat itu mampu mengabulkan permohonan atau menjawab seruan/doa yang di sampaikan kepadanya itu.

Jika saja berdo’a itu boleh dilakukan dengan melalui perantara, maka malaikat-malaikat ini tentunya lebih berhak untuk dijadikan perantara daripada penghuni kubur. Kedudukan malaikat lebih tinggi diatas orang-orang yang mereka anggap wali itu. Namun kita lihat dalam syari’at tidak ada tuntunan untuk berdo’a melalui perantaraan jibril, mikail, Rokib dan Atid. Tidak ada satupun hadits menerangkan bahwa rasulullah pernah berdo’a “Wahai Jibril sampaikanlah hajatku (Keinginanku) kepada allah ta’ala .....” juga tidak para sahabat melakukanya padahal keadaanya mereka lebih butuh dan lebih mendukung untuk melakukan itu daripada kita saat ini. Maka hukum menjadikan perantara antara allah ta’ala minimalnya adalah bid’ah sedang kecelakaan yang besar jika padanya terjatuh kepada kesyirikan. Jika saja menyeru/berdo’a kepada malaikat itu adalah kesyirikan, lantas bagaimana kiranya jika menyeru/berdo’a itu kepada Jin, arwah, Roh halus, dan lain sebagainya ? Bagaimana orang-orang musyrik itu dpat mempersekutukan allah ta’ala yang maha mendengar dengan mahluknya yang tidak maha mendengar. Mempersekutukan allah ta’ala yang menciptakan segala sesuatu dengan mahluk yang diciptakan dan tidak mampu menciptakan.

Sukabumi*D2n*10/10/2023.

BAHKAN NABI DAN RASUL TIDAK MEMILIKI SESUATU APAPUN WALAU SETIPIS KULIT ARI

Ayyuhal ikhwah, masih berkaitan dengan pembahasan bab sebelumnya. Bahwa menyeru /berdo’a kepada selain Allah ta’ala hakikatnya adalah Menyeru/berdo’a kepada sesuatu yang tidak dapat menciptakan. Imam Qurthubi dalam tafsir Qur’an Surat Faathir (35) : 13 menyebutkan makna : 

مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ.

“Tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis Kulit Ari” Maksudnya adalah, berhala-berhala itu tidak mampu untuk mencipta.

Bab ini adalah beberapa hujjah atas kekeliruan orang-orang musyrik yang menjadikan nabi-nabi dan rasul-rasul sebagai sekutu bagi Allah ta’ala. Perbuatan syirik mereka itu dibantah oleh kalamullah juga kalam nabinya. Nabi bersabda “Laa Agni ‘anka minallahi syai’a” (Aku tidak berguna bagi dirimu dihadapan Allah sedikitpun”.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حين أنزل عليه (وأنذرعشيرتك الأقربين) فقال : يا معشر قريش –أو كلمة نحوها- إشتروا أنفسكم-. لا أغني عنكم من الله شيئا. يا عبّاس بن عبد المطلب لا أغني عنك من الله شيئا. يَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ، لا أغني عنك من الله شيئا. وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ محمّد سليني مِنْ مَالِي مَا شِئْت". لَا أُغني عَنْككِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا،

Dalam Shahih Bukhari. Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, “ketika diturunkan kepada Rasulullah ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat (Qs. Asy Syu’araa (26) : 214) beliau berdiri dan bersabda, “Wahai segenap kaum Quraisy, tebuslah diri kalian dari (siksa allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya) sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu dihadapan allah. Wahai abbas bin Abdul Muthallib!, sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu dihadapan allah.  Hai Safiyyah bibi Rasulullah, sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu dihadapan allah. Hai Fatimah binti Muhammad, mintalah olehmu dari hartaku sesukamu, sedikitpun aku tidak berguna bagi dirimu dihadapan allah.”

Dalam hadits ini terkandung beberapa pelajaran diantaranya yaitu :

1.       Hanya dengan memurnikan ketaatan kepada allah ta’ala yang dapat menebus keluarga nabi dari siksa/adzab neraka. Hal ini akan erat kaitanya dengan syarat-syarat memperoleh syafa’at. Jika demikian halnya dengan ahli baithnya bagaimana kiranya dengan yang bukan kerabat/keluarga beliau shallallahu alaihi wassalam...?

2.       Nabi dan Rasul adalah manusia biasa, tidak ada padanya sifat-sifat rubbubiyah (ketuhanan) ia adalah hamba/mahluk bukanlah khaliq/pencipta. Setiap hamba, hanya dapat tunduk dengan ketetapan Rab-Nya.

3.       Mintalah kepada nabi selagi sesuatu itu ada padanya.

4.       Nabi shallallahu alaihi wassalam bersabda “Mintalah dariku harta yang ada padaku sesukamu” rasulullah tidak bersabda : mintalah kepadaku aku akan memohonkanya kepada Allah ta’ala. Disini mengandung pelajaran bahwa bertawasul itu bukan suatu kebiasaan. Ia bukan sesuatu yang dianjurkan. Karena yang diperintahkan dan diajarkan rasulullah shallallahu alaihi wassalam adalah beliau bersabda “Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah”

 

Selanjutnya, bahwa tidaklah nabi dan rasul itu mengetahui hal-hal yang gha’ib kecuali sesuatu itu di bukakan oleh allah ta’ala dengan idzinya.

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ

Dan di sisi Allah-lah kunci-kunci yang ghaib. Al-An’am (6) : 59.

قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tidak kuasa mendatangkan kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula kuasa menolak kemadharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan andaikata aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemadharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Al A’raaf (7) : 188.

                Sebagian kaum musyrikiin ada yang berdalil dengan beberapa hadits yang shahih namun disalah fahami maksud dan penempatanya seperti diantara syubhat mereka itu adalah bahwa, diperdengarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wassalam nikmat dan adzab kubur. Ini tidak menunjukkan adanya pertentangan dengan ayat diatas karena yang dimaksud padanya tentu saja dalam lingkup apa-apa yang di izinkan llah ta’ala untuk diketahu nabi pada waktu itu untuk menjadi pelajaran sebagaimana wahyu itu menjadi pelajaran. Keadaanya adalah tidak terus menerus sebagaimana mukjizat dan wahyu disampaikan melainkan disaat adanya kebutuhan syari’at untuk disampaikan kepada nabi shallallahu alaihi wasalam dan kepada manusia seluruhnya. Juga dapat dipastikan bahwa nabi tidak mendengar keseluruhan dari para penghuni kubur itu melainkan hanya beberapa saja yang disingkap/diperdengarkan allah ta’ala kepadanya.

                Selanjutnya, bahwa rasulullah adalah manusia biasa yang memerlukan perlindungan rasulullah terluka dan merasakan payah, maka, bagaimana kamu dapat mempersekutukan Allah ta’ala dengan nabi yang merasakan kepayahan, sedangkan para nabi itu tidak mampu memberikan pertolongan untuk keluarga kerabat bahkan untuk dirinya sendiri, melainkan semua itu hanya atas rahmat allah ta’ala. Bagaimana mereka kaum musyrikin itu menyeru/berdo’a kepada nabinya yang telah diciptakan-Nya? Sebagaimana allah ta’ala firmankan :

أَيُشْرِكُونَ مَا لا يَخْلُقُ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ .وَلا يَسْتَطِيعُونَ لَهُمْ نَصْرًا وَلا أَنْفُسَهُمْ يَنْصُرُونَ

Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatupun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiripun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan. Al A’raaf (7) : 191-192.

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظالِمُونَ

Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. Ali Imran (3) : 128.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsir ayat ini (3:128) :

قَالَ الْبُخَارِيُّ: قَالَ حُمَيْد وَثَابِتٌ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: شُجّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أحُد، فَقَالَ: "كَيْفَ يُفْلِحُ قُوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ؟ ". فَنَزَلَتْ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ{

Imam Bukhari mengatakan bahwa Humaid ibnu Sabit meriwayatkan dari Anas ibnu Malik, bahwa Nabi Saw. terluka pada wajahnya dalam Perang Uhud, lalu beliau bersabda: Bagaimana memperoleh keberuntungan suatu kaum yang berani melukai wajah nabi mereka? Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu. (Ali Imran: 128) Hadis ini sanadnya mu’alaq dalam shahih Al Bukhari.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا هُشَيم، حَدَّثَنَا حُمَيد، عَنْ أَنَسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسرَتْ رَبَاعيتُهُ يومَ أُحدُ، وشُجَّ فِي جَبْهَتِهِ حَتَّى سَالَ الدَّمُ عَلَى وَجْهِهِ، فَقَالَ: "كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ فَعَلُوا هَذَا بِنَبِيِّهِمْ، وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ، عَزَّ وَجَلَّ". فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ{

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas r.a., bahwa gigi seri Nabi Saw. pernah rontok dalam Perang Uhud dan wajahnya terluka, hingga darah membasahi wajah beliau. Maka beliau bersabda: Bagaimana mendapai keberuntungan suatu kaum yang berani melakukan perbuatan ini kepada nabi mereka, padahal nabi mereka menyeru mereka untuk menyembah Tuhan mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. (Ali Imran: 128). Riwayat ini hanya diketengahkan oleh Imam Muslim sendiri. Dia meriwayatkannya dari Al-Qa'nabi, dari Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas, lalu ia menuturkan hadis ini.

قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا ابْنُ حُمَيْدٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ وَاضِحٍ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ، عَنْ مَطَرٍ، عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: أُصِيبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ وكُسرت رَبَاعيته، وَفُرِقَ حَاجِبُهُ، فَوَقَعَ وَعَلَيْهِ دِرْعَانِ وَالدَّمُ يَسِيلُ، فَمَرَّ بِهِ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، فَأَجْلَسَهُ وَمَسَحَ عَنْ وَجْهِهِ، فَأَفَاقَ وَهُوَ يَقُولُ: "كَيْفَ بِقَوْمٍ فَعَلُوا هَذَا بِنَبِيِّهِمْ، وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللهِ؟ " فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ{

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Matar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa Nabi Saw. pernah mengalami luka dalam Perang Uhud hingga gigi serinya rontok dan alisnya terluka, lalu beliau terjatuh yang saat itu beliau memakai baju besi dua lapis, sedangkan darah mengalir dari lukanya. Maka Salim maula Abu Huzaifah menghampirinya dan mendudukkannya serta mengusap wajahnya. Lalu Nabi Saw. sadar dan bangkit seraya mengucapkan: Bagaimana akan memperoleh keberuntungan suatu kaum yang berani melakukan ini terhadap nabi mereka? Nabi Saw. mengucapkan demikian seraya mendoakan untuk kebinasaan mereka kepada Allah Swt. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu. (Ali Imran: 128), hingga akhir ayat.

Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah dengan lafaz yang semisal. Akan tetapi, di dalam riwayatnya tidak disebutkan fa'afaqa (lalu beliau sadar).

Dan ada banyak kisah nabi dan rasul yang diuji dengan kepayahan untuk diambil pelajaran bahwa hanya allah ta’ala yang memiliki semua kekuatan dan kehendak.

Sukabumi*D2n*11/10/2023.

 

syubhat. BENARKAH RASULULLAH DAN KAUM MUSLIMIIN SHALAT DAN SUJUD KEPADA BERHALA SEBELUM FUTUH MEKKAH ?

 

BENARKAH RASULULLAH DAN KAUM MUSLIMIIN SHALAT DAN SUJUD KEPADA BERHALA SEBELUM FUTUH MEKKAH ?

Orang-orang jahil itu berkata : Bahwa sebelum futuh makkah terdapat dikabah baik didalamnya ataupun diluarnya patung-patung. Ini adalah hujjah bahwa bersujud kepada berhala bukanlah kekafiran karena diketahui rasulullah dan kaum muslimiin berhaji dan shalat kepadanya sebelum makkah ditaklukkan. Syubhat ini di lontarkan oleh sebagian kaum muslimiin ketika terjadi perusakkan sesembahan dan sesaji oleh seorang dari kaum muslimiin yang membenci kesyirikan. Juga hal tersebut menjadi dalil sebagian dhu’at murji’ah yang tidak mengkafirkan para pelaku kesyirikan sehinga mereka masih memberi udzur kepada mereka itu. Bahwa sujud kepada berhala bukanlah kekafiran. Ia harus dipastikan dulu i’tiqadiyahnya.

Jawab :

1.       Futuh mekkah pada tahun ke 8 H perpindahan kiblat pada tahun ke 12H. Maka rasulullah dan kaum muslimiin tidak bersujud atau shalat menghadap nya. Baik di dalam mekah maupun diluar mekah.

2.       Haji adalah wuquf bukan thawaf. Maka wuquf bukanlah di ka’bah tapi di arafah.

3.       Tidak ada satupun rukun haji berbentuk rukuk dan sujud.

4.       Rasulullah dan kaum muslimiin tetap memerangi kafir quraisy sebelum futuhnya, menunjukkan bahwa statusnya sebagai darrul kuffar walaupun ditegakkan padanya beberapa syari’at dan tinggal didalamnya beberapa kaum muslimiin.

5.       Tidak boleh ridha terhadap kesyirikan sampai kesyirikan itu dibumi hanguskan dan harus terus berusaha meneggakan kalimatullah (tauhid) sampai benar-benar tidak ada sama sekali kesyirikan itu, tidak melakukan pembelaan atau bahkan ridha dengan keyirikan dengan memusuhi orang-orang yang berusaha menegakkanya sebagaimana telah terjadi mencela penegaknya dengan celaan tidak tahu waqi atau tidak berilmu atau tidak hikmah dan lain sebagainya.

6.       Menghancurkan patung sudah menjadi ibadah yang muthlak, dilakukan oleh Ibrahim Alaihi salam, Muhammad Shollallahu Alaihi wassalam, juga oleh sahabatnya Radiyallahu anhum. Bahkan sampai akhir zaman hal ini akan dilakukan oleh al mahdi dan Isa Alaihissalam. Kami tidak mendapati celaan atas orang-orang yang berani melakukan hal ini baik keadaanya lemah ataupun dalam keadaanya kuat. Naam, ibrahiim alaihi salam melakukanya dalam keadaan lemah pada waktu itu.

7.       Telah ada Ijma kafirnya orang-orang yang sujud kepada berhala.

8.       Kalaupun benar pada masa itu rasulullah dan kaum muslimiin pada waktu itu melakukanya (rukuk dan sujud) menghadap berhala, walaupun pada kenyataanya kita lihat fakta sejarah membuktikan tidak adanya dalil yang mendukung bahwa rasulullah dan kaum muslimiin pernah melakukanya. Juga dikarenakan thawaf adalah ibadah sehingga tridak merubah esesnsi haramnya ibadah yang ditujukan kepada berhala-berhala itu. Maka keadaanya sudah dihapuskan karena keadaan yang sudah tidak lagi mendesaknya untuk melakukan hal tersebut. Diwajibkan bagi kita untuk menjauhi sejauh-jauhnya dari perbuatan yang sedemikian itu kecuali keadaan terpaksa dalam keadaan darurat. Tapi kami melihat tidak adanya keadaan mendesak itu pada masa ini, bumi allah dijadikan seluas-luasnya untuk dijadikan masjid (tempat shalat) sehingga kaum muslimiin dapat mencari tempat shalat yang tidak ada patung padanya.

9.       Naam, dari ini ada satu sisi i’tiqadi yang menjadi persyaratan apakah ruku, sujud dan thawaf nya ditujukan untuk menghormati berhala atau tidak tapi dengan tidak memutlakkan padanya sebagai syarat mutlak kafirnya sebagaimana murji’ah menggeneralisir permasalahan ini bahwa i’tiqadiyah sebagai satu-satunya syarat kekafiranya. Tidak akhi... dzahir dari perbuatan ini (rukuk, sujud, dan thawaf) adalah ibadah sehingga wajib padanya  sebagaimana taklif dan tauqif-nya.  Hukum ter ringan pada masalah ini adalah haram atau dosa sehingga pelakunya wajib taubat. Keadaan ini bisa dilihat dari dua sisi :

a.       Ruku, sujud, thawaf kepada sesuatu yang diketahui sebagai berhala atau sesembahan seperti : patung yesus, lukisan maria, patung budha, kuburan yang orang-orang meminta kepadanya, kepada pohon, batu, laut gunung  dan lain-lainnya, beserta orang-orang yang melakukan ritual penyembahan itu dan sebagaimana orang-orang yang melakukan penyembahan itu.  Maka ia dzahirnya adalah kekafiran walaupun tanpa i’tiqadiyah. Maka ini adalah amal kekafiran. Pelakunya disuruh taubat.

b.      Rukuk, sujud, dan thawaf kepada sesuatu yang diketahui bukan sesembahan seperti, lapangan sepak bola, upacara bendera, membungkuk kebiasaan orang sunda saat permisi lewat didepan seseorang atau kumpulan,  mengangguk untuk menyapa dan lain sebagainya, maka perlu adanya kepastian i’tiqadiyah padanya tidak ada penghormatan yang berlebih sehingga melebihi hormat/cintanya kepada allah ta’ala. Naam, diketahui ini bukanlah rukuk,sujud thawaf ibadah tapi bisa jadi suatu peribadatan bagi sebaian lainya bisa jadi penghormatan dan kecintaan bagi sebagian lainya sehingga ini menjadi andad disisi allah ta’ala.

10.   Seseorang yang membungkuk kepada berhala semata untuk tujuan politik sebagaimana orang-orang lakukan dimasa Pemilu semata untuk mencari dukungan suara adalah kekafiran. Baik i’tiqadiyahnya maupun amaliyahnya. Haram kaum muslimiin memilih calon-calon pemimpin semacam ini.

*D2n*Sukabumi*10*08*2023.

Jumat, 30 September 2022

 

BAROMETER SATU NEGARA DISEBUT NEGARA ISLAM

Diantara kekeliruan sebagian thulab adalah menyamakan antara hukum menetapkan secara de facto nya suatu daerah itu daerah muslim atau bukan dengan pembahasan boleh atau tidaknya suatu daerah itu diperangi atau tidak.

1.       Abu bakar memerintahkan penyerangan kepada beberapa daerah yg berlepas diri dari kekhalifahanya

a.       dengan adanya nabi palsu.

b.      Tidak mau membayar zakat.

Dari dua hal ini menunjukkan

a.       Telah menjadi halal darah mereka

b.      Taat khalifah atau tidaknya

c.       Menolak zakat. Menunjukkan barometer di katakan satu daerah itu muslimuun atau bukan. Boleh di perangi atau tidak.

Karena tentunya jika mereka shalat sedang mereka tergolong orang yang kafir (murtad) karena suatu pembathalnya maka syariat adalah penentu utama sebagai syarat satu daerah itu dikatakan negeri musliim atau bukan. Dan barometer kedua adalah wilayah teritori kekhilafahan sedangkan barometer ketiga adalah memberontak atau keluar dari ketaatan kepada amirul mukminiin. Dalil mereka Jika ada satu daerah dikumandangkan adzan atau dilaksanakan beberapa hukum syariat sangat lemah dari sisi ini. Abu bakar Radiyallahu ‘anhu memerangi mereka walaupun mendirikan/mengerjakan shalat.

2.      Tidak sematamata dipimpin seorang muslim lantas negerinya disebut negeri muslim.

Dalilnya Saat diketahui najasy itu muslim negerinya tidak disebut negeri islam karena dilihat dari tiga sisi 1. Daerahnya tidak ditaklukan 2. Agama mayoritas penduduknya 3. Hukum yg ditegakkan oleh raja/pemimpin.

 

3.  Peryataan negeri islam adalah negeri yang nampak padanya syiar islam adalah lemah. karena, makkah tidak disebut negeri islam sebelum futuh kendati didalamnya sudah nampak syiar, haji dan lain sebagainya.

 

4.     Dalil larangan menyerang di tempat yang padanya diserukan adzan bukanlah dalil yang tepat untuk menunjukkan padanya adalah negeri islam tapi lebih tepatnya sebagaimana sabda rasulullah siapa masuk masjidil haram dia aman, siapa yg didalam rumah abu sufyan dia aman, siapa yg diam dirumahnya menutup semua pintu dan jendela rumahnya dia aman.

Faedah hukum :

a.      Seorang muslim haram darahnya.

b.      Masjid tidak boleh dilakukan didalamnya kedzaliman.

c.       Kafir dimmi dan atau tidak melakukan peperangan.

d.      Futuh Makkah di istilahkan menunjukkan perubahan kekuasaan secara defacto dan de jure.

e.  Adanya kaum muslimiin didalamnya yg menegakkan syiar tidak membatasi atau bukan penghalang untuk dilakukan upaya penaklukan.

5.   Penaklukkan konstantinopel dengan kalimah dzikir Laa IlaaHa ILLallah. Disefakati bersama mereka adalah kaum muslimiin, namun kenapa harus ditaklukan? Ini membantah hujjah mereka bahwa negeri yang didalamnya terdapat adzan dan atau ditegakan sebagian dari syari’at islam itu haram diperangi dan kedudukanya adalah negeri islam.

6.  Perkataan mansyaihk atau para ulama. Jika syiar islam tidak dinampakkan, hukum allah tidak ditegakkan. Maka Tidak menjalankan hukum allah adalah bagian dari tidak nampaknya syi'ar itu sendiri.

7. "Penaklukan" Al fath (48) : 20-21. "Wayahdiyakum shirootommustaqiima". Tujuan penaklukan. Maka akan kembali maqhasidnya yaitu li a'laai kalimatullah. Mengandung konsekuensi jika di satu negeri syariat itu tidak ditinggikan atau tidak ditegakkan atau ditampakkan artinya negeri itu belum ditaklukkan.

 

Kamis, 29 September 2022

 

MENGHINDAR DARI ANCAMAN DENGAN MELALUI SEBAB-SEBAB KESELAMATAN YANG DIBENARKAN OLEH SYARI’AT KARENA TAKUT AKAN KEBURUKAN YANG AKAN MENIMPA BUKANLAH KEKAFIRAN/KESYIRIKAN.

TAUHID ADALAH PEMURNIAN PERIBADATAN KEPADA ALLAH TA'ALA

DIPERINTAHKAN UNTUK MENEMPUH JALAN-JALAN KESELAMATAN DAN DIHARAMKAN MENEMPUH JALAN-JALAN KEBINASAAN KARENA ITU ADALAH KEDZALIMAN

Ayyuhal ikhwah, sama sekali mereka itu tidak dapat memberikan kemanfaatan maupun kemudharatan kecuali atas idzin allah ta’ala. Bagian dari kesyirikan itu adalah meyakini dengan hati bahwa mereka dapat memberikan kemudharatan dan kemanfaatan itu, bagian dari kesyirikan itu adalah jika rasa takut kepada selain allah itu sama sebagaimana takutnya kepada Allah ta’ala atau bahkan lebih takutnya. Bagian dari kesyirikan itu adalah jika tercermin dalam amal perbuatanya, perbuatan-perbuatan kekufuran dan kesyirikan. Dan bagian-bagian dari kesyirikan itu adalah berikhtiyar dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariat. Berikhtiyar dengan cara yang bukan dari sebab-sebab yang dibenarkan baik oleh akli maupun naqli. Berikhtiyar dengan sesuatu yang hakikatnya sesuatu itu tidak dapat memberikan kemanfaatan sedikitpun dan asasinya hanya dapat di berikan oleh allah ta’ala saja.

Berikhtiyar dengan sebab-sebab yang allah ta’ala menjadikanya sebab dan dibenarkan oleh syari’at adalah bukan kesyirikan.  Menghindari suatu ancaman dengan melakukan suatu ikhtiyar yang menjadi sebab keselamatan dengan tidak melanggar batas-batas syari’at bukanlah suatu kemaksiatan/kesyirikan.

إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Ar Raad (13) : 11

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا

Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu Al Kahfi (18) : 16

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. Al Araaf (7) : 10

Sebagaimana kisah ini (Ashabul Kahfi) mereka mendapatkan ancaman dari penguasa dan kaumnya. Kita dapati dalam kisah-kisah lainya para nabi maupun orang shalih dari kaum salaf. bahwa usaha yang pertama kali harus dilakukan adalah hijrah,  mengasingkan diri, meng isolasi diri, berlari atau menghindar meninggalkan negeri yang padanya terdapat ancaman atau sembunyi sebagaimana ashabul kahfi. Sehingga bukan dengan alasan takut kemudian melakukan perbuatan kekafiran/kesyirikan. Merubah hukum allah ta’ala lantas bersenang-senang dengan pemberian penguasa tersebut dan dengan senang hati menjadi penasihat-penasihat disisi mereka yang sejati nya adalah andaad disisi allah ta’ala.

Sebagaimana juga diriwayatkan,

إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا

Jika kamu mendengar wabah disuatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah ditempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu”. [HR. Bukhari dan Muslim].

Disini rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa menghindar bukanlah cerminan dari rasa takut, karena seorang yang bertawakkal kepada allah ta’ala sangat jauh dari rasa takut kepada selain-Nya. Namun disini rasulullah mengajarkan apa yang semestinya dilakukan yaitu dengan menempuh sebab-sebab keselamatan karena menempuh jalan-jalan yang menyebabkan diri kepada kebinasaan adalah bagian dari kedzaliman.

Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Wahai Rasulullah, apakah saya ikat unta saya lalu tawakal kepada Allah Azza wa Jalla ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya ? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ

Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakal !” (HR. At-Tirmidzi no. 2517, hasan)

Naam, bukan berarti tidak yakin dengan apa-apa yang ada di tangan Allah ta’ala akan tetapi di dunia ini kita diwajibkan untuk menempuh jalan keselamatan dan bagian dari tidak yakin dengan rahman dan rahiim allah ta’ala adalah dengan menjatuhkan diri kepada jalan-jalan kebinasaan.

Begitupun juga percakapan antara khalifah umar bin khattab radiyallahu ‘anhu dengan para sahabatnya mencerminkan tidak adanya rasa takut mereka atas wabah, karena jika sekiranya mereka semua itu takut akan wabah tentunya mereka tidak akan berdialog melainkan dengan sesegera mungkin mereka akan meninggalkan tempat tersebut. Begitu kuatnya keinginan untuk memasuku negeri syams menunjukan ketidak takutan mereka akan wabah tersebut. Tidak luntur iman mereka atas taqdir allah ta’ala karenanya karena mereka adalah umat yang terbaik mengilmui segala sesuatu itu dengan pasti dari kalam rasulnya.

Hari itu Khalifah Umar bin Khattab RA, bersama para sahabatnya berjalan dari Madinah menuju negeri Syam. Negeri Syam adalah suatu kawasan diantara Suriah, Palestina, Lebanon dan Jordania.

Tempat itu adalah tanah kelahiran agama samawi yakni Yahudi, Nashrani dan Islam.

Rombongan Khalifah berhenti di perbatasan sebelum memasuki Syam karena mendengar ada wabah Tha’un di Amwas yang melanda negeri tersebut.

Sebuah penyakit menular, benjolan diseluruh tubuh yang akhirnya pecah dan mengakibatkan pendarahan.

Abu Ubaidah bin Al Jarrah, seorang yang dikagumi Umar Bin Khattab R.A, adalah Gubernur Negeri Syam ketika itu datang ke perbatasan untuk menemui rombongan Khalifah Umar R.A.

Terjadilah dialog yang hangat antar para sahabat, membicarakan apakah rombongan mereka masuk ke Negeri Syam atau pulang ke Madinah.

Khalifah Umar R.A cerdas tidak ingin buru-buru membuat keputusan, ia minta saran kaum muhajirin (mereka yang ikut terus dalam dakwah Islamiyah) ternyata banyak berselisih pendapat.

Kemudian Umar R.A  memanggil kaum anshar (kaum muslim yang berasal dari Madinah) juga banyak perselisihan pendapat.

Selanjutnya dipanggil para pembesar Quraisy dan para pejuang kota Makkah (Fathu Makkah) tampak jalan terang. Kata mereka “menurut kami engkau harus mengevakuasi orang-orang itu dan jangan biarkan mereka mendatangi wabah ini”.

Gubernur Negeri Syam Abu Ubaidah R.A yang sangat menginginkan mereka masuk, berkata “Wahai Amirul Mukminin, apakah ini lari dari takdir Allah Ta’ala ?”

Khalifah Umar R.A berkata, “benar ini lari atau berpaling dari takdir Allah ke takdir Allah yang lain.

Tidakkah engkau melihat, seandainya engkau memiliki unta dan lewat disuatu lembah dan mendapatkan dua tempat untamu yang subur dan yang gersang, kemana akan engkau arahkan untamu?, Jika ke lahan kering itu adalah takdir Allah, dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah?”

Sesungguhnya dengan kami pulang, kita hanya pindah dari takdir satu ke takdir yang lain.

Akhirnya perbedaan itu berakhir ketika datang Abdurrahman bin Auf R.A  mengingatkan kejadian yang sama dimasa Rasulullah SAW, dan mendengar Rasulullah SAW bersabda “Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya” [HR. Bukhari & Muslim]

Rombongan Khalifah Umar R.A akhirnya pulang ke Madinah.

Khalifah Umar R.A merasa tidak kuasa meninggalkan sahabat yang dikaguminya, Abu Ubaidah  R.A

Beliau pun menulis surat untuk mengajak Abu Ubaidah R.A  ke Madinah.

Namun beliau adalah Abu Ubaidah R.A  yang hidup bersama rakyatnya dan mati bersama rakyatnya. Khalifah Umar R.A pun menangis membaca surat balasan itu.

Tangisnya semakin bertambah ketika Khalifah Umar bin Kahatab R.A mendengar Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, Suhail bin Amr, dan sahabat-sahabat mulia lainnya R.A wafat karena wabah Tha’un di negeri Syam.

Abu Ubaidah adalah sahabat yang menjadi tameng Rasulullah SAW pada Perang Uhud.

Diperhitungkan 25.000-30.000 orang wafat, hampir separuh penduduk Syam ketika itu

WAJIB BERIKHTIYAR DENGAN MENEMPUH SEBAB YANG DIBENARKAN OLEH AKLI MAUPUN NAQLI

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. Al Araaf (7) : 10

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negri di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan kehidupan dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” Al Qashash (28) : 77

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Juga firman-Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah” QS. Al Jumu’ah (62): 10.

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لا تُظْلَمُونَ

Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.”  Al Anfaal (8) : 60.

وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. Al Jumu’ah (62) : 11

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Al muzammil (73) : 20

Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً

 “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)

Kita dapati dalam sirah bahwa rasulullah berjualan (dagang) melakukan kerjasama usaha dibidang pertanian dan lainya. Rasulullah berlindung di dalam gua hira untuk bersembunyi dari kejaran kaum musyrikiin quraisy. Rasulullah memutar dan berganti jalur perjalanan sebagai siasat. Rasulullah pun mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi serangan musuh-musuh allah ta’ala. Ini semua adalah ihtiyar dalam kehidupan dunia bukan lantas pasrah tanpa melakukan apapun. Begitu juga sahabatnya radiyallahu anhum, ada yang ke pasar juga ada yang pergi ke ladang, tenaga kuli. Berhijrah, bahu membahu untuk saling melindungi, mereka selalu waspada berjaga siang malam di perbatasan jika sekiranya ada musuh yang menyerang.

Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau di masjid seraya berkata, ‘Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri’. Maka beliau berkata, ‘Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

إِنَّ اللَّهَ جِعَلَ رِزْقِيْ تَحتَ ظِلِّ زُمْحِيْ

Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku melalui tombakku”

Dan beliau bersabda.

َلوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَ كَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُم كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا

Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah meberimu rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung, berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang“.

Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka mencari rizki.

Selanjutnya Imam Ahmad berkata, ‘Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita. Fathul Bari, 11/305-306

Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja’far bin Amr bin Umayah dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُرْسِلُ نَاقَتِيْ وَأََتَوَ كُّلُ قَالَ : اِغْقِلهَا وَتَوَ كَّلْ

Seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ikatlah kemudian bertawakkallah“

Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa’iq, Bab Al-Warra’ wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar bin Annal Mar’a Yajibu Alaihi Ma’a Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A’dha Dhidda Qauli Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya ; Al-Mustadrak Alash Shahihain, Kitab Ma’rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin Umayah Radhiyallahu ‘anhu, 3/623. Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, Sanad hadist ini ‘jayyid’. (At-Talkhis, 3/623). Al-hafizh Al-Haitsami juga menyatakan hal senada dalam Majmau’z Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id, 10/303. Beliau berkata, Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari banyak jalan. Dan para pembawa haditsnya adalah pembawa hadits Shahih Muslim selain Ya’kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah.

Para sahabat bertanya, ‘”Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kami tinggalkan amal shalih dan bersandar dengan apa yang telah dituliskan untuk kami (ittikal)?”‘ (maksudnya pasrah saja tidak melakukan suatu usaha – pen)

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ .ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ). الآية

Beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan terhadap apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, maka mereka akan mudah untuk mengamalkan amalan yang menyebabkan menjadi orang bahagia. Dan mereka yang celaka, akan mudah mengamalkan amalan yang menyebabkannya menjadi orang yang celaka” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Allah dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (HR. Bukhari, kitab at-Tafsir dan Muslim, kitab al-Qadar)

Sahabat Umar bin Khaththab bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وسأله عمر هل نعمل في شئ نستأنفه ام في شئ قد فرغ منه قال بل في شئ قد فرغ منه قال ففيم العمل قال يا عمر لا يدرك ذلك إلا بالعمل قال إذا نجتهد يا رسول الله

Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : Apakah amal yang kita lakukan itu kita sendiri yang memulai (belum ditakdirkan) ataukah amal yang sudah selesai ditentukan takdirnya? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Bahkan amal itu telah selesai ditentukan taqdirnya.” Umar berkata : Jika demikian, untuk apa amal? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Wahai Umar, orang tidak tahu hal itu, kecuali setelah beramal.” Umar berkata : Jika demikian, kami akan bersungguh-sungguh, wahai Rasulullah! (Riwayat ini disebutkan oleh al-Bazzar dalam Musnadnya no. 168 dan Penulis Kanzul Ummal, no. 1583).

IKHTIYAR YANG DIHARAMKAN

1.       Iktiyar Dengan Hal Yang Sia-Sia

Termasuk dari ini adalah perbuatan yang tercela dan kejahilan (kebodohan) adalah ber ikhtiyar dengan satu hal yang sia-sia, dalam amal akhirat maupun dunia, maka hakikatnya adalah kejahilan (kebodohan) dan merupakan perbuatan yang tercela. seperti berlindung dari terpaan hujan dengan payung yang sudah tidak ada penutupnya karena sobek/rusak. Mengambil air dengan dua telapak tangan dan jari yang terbuka. Memintal benang kemudian menguraikanya. Bertepuk sebelah tangan. Menulis di air. Makan Angin. dll

وَلا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا

Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. An nahl (16) : 92

مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ

Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. At Taubah (9) : 17

لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ

Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. Ar Raad (13) : 14

وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الأرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. Al Araaf (7) : 10

2.       Ikhtiyar Dengan Kesyirikan Dan Kebid’ahan Seperti : Do’a Wirid yang bid’ah, Ziarah untuk tujuan bertawassul, istighosah, kepada ahli kubur. Sedekah laut, larung saji, sesajian, Dukun, Jimat, Pelet, Jampi-Jampi, Guna-Guna, Rajah, dll.

عَنْ أَبِى وَاقِدٍ اللَّيْثِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا خَرَجَ إِلَى خَيْبَرَ مَرَّ بِشَجَرَةٍ لِلْمُشْرِكِينَ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ يُعَلِّقُونَ عَلَيْهَا أَسْلِحَتَهُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لَهُمْ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى (اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ) وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ »

Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu’anhu, dia menceritakan: Dahulu kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Sedangkan pada saat itu kami masih baru saja keluar dari kekafiran (baru masuk Islam, pent). Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka beri’tikaf di sisinya dan mereka jadikan sebagai tempat untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut dengan Dzatu Anwath. Tatkala kami melewati pohon itu kami berkata, “Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath (tempat menggantungkan senjata) sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allahu akbar! Inilah kebiasaan itu! Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian telag mengatakan sesuatu sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Isra’il kepada Musa: Jadikanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan. Musa berkata: Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bertindak bodoh.” (QS. al-A’raaf: 138). Kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi dan beliau mensahihkannya, disahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam takhrij as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim, lihat al-Qaul al-Mufid [1/126])

Dan dalil-dalil lainya sebagaimana telah dimaklumi oleh ahli ilmu yang tidak dapat kami nukilkan pada kesempatan ini.

3.       Ikhtiyar Dengan Sesuatu Yang Diharamkan.

Menipu, mencuri, berdusta, riba, mengurangi timbangan, dzalim dll

 

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. An Nahl (16) : 114

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الأرْضِ حَلالا طَيِّبًا وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Al Baqarah (2) : 168

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Al Maidah (5) : 88

وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ

Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. Huud (11) : 85

4.       Berbuat kerusakan dan Melampaui batas/berlebihan.

 

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Al araaf (7) : 31

فَاذْكُرُوا آلاءَ اللَّهِ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ

maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan. Al Araaf (7) : 74

 

أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الأرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ

Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma'siat? Shaad (38) : 28

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Al Qashash (28) : 77

كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ

Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. Al Baqarah (2) : 60

إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Asy Syuura (42) : 42

كُلُوا وَاشْرَبُوا مِنْ رِزْقِ اللَّهِ وَلا تَعْثَوْا فِي الأرْضِ مُفْسِدِينَ

Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. Al Baqarah (2) : 60

SAYARAT-SYARAT BOLEHNYA IKHTIYAR

1.       - Bertawakkal Kepada Allah Ta’ala : Menyandarkan segala hasil hanya kepada allah ta’ala.

2.       - Yakin dengan Taqdir

3.       - Meyakini menempuh sebab bukanlah sumber kemanfaatan dan kemaudharatan kecuali atas idzin Allah Ta’ala.

4.      -  Ridha dengan apa yang di taqdirkan Allah ta’ala. Qona’ah.

5.       - Mensyukuri apa yang di hasilkan walaupun kecil.

6.       - Menempuh sebab-sebab yang dibenarkan oleh syari’at.

7.       - Tidak berlebihan. Secukupnya.

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا الطلاق

Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan beginya jalan keluar dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya Allah (berkuasa untuk) melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap urusan.” At Tholaq (65) : 2-3.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan :”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” Ibrahim (14) : 7.

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ القُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ

Qarun berkata: “sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya.” (Al Qashas 78)

تَعِسَ عبد الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رضي وَإِنْ لم يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَشَ) رواه البخاري

 

Semoga sengsara para pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (pemuja harta kekayaan-pen), bila ia diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi benci, semoga ia menjadi sengsara dan semakin sengsara (bak jatuh tertimpa tangga), dan bila ia tertusuk duri semoga tiada yang kuasa mencabut duri itu darinya.” Riwayat Bukhari.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,

إن اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يبتلي عَبْدَهُ بِمَا أَعْطَاهُ فَمَنْ رضي بِمَا قَسَمَ الله عز وجل له بَارَكَ الله له فيه وَوَسَّعَهُ وَمَنْ لم يَرْضَ لم يُبَارِكْ له ولم يزده على ما كتب له) رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني

Sesungguhnya Allah Yang Maha Luas Karunia-nya lagi Maha Tinggi, akan menguji setiap hamba-Nya dengan rizqi yang telah Ia berikan kepadanya. Barang siapa yang ridho dengan pembagian Allah Azza wa Jalla, maka Allah akan memberkahi dan melapangkan rizki tersebut untuknya. Dan barang siapa yang tidak ridho (tidak puas), niscaya rizqinya tidak akan diberkahi.” (Riwayat Imam Ahmad dan dishohihkan oleh Al Albany).

فالإلتفات الى الأسباب شرك فى التوحيد و محو الأسباب أن تكون أسبابا نقض فى العقل و الأعراض عن الأسباب المأمور بها قدح فى الشرع فعلى العبد أن يكون قلبه متعمدا على الله لا على سبب من الأسباب و الله ييسر له من الأسباب ما يصلحه فى الدنيا و الأخرة

Mengandalkan (terlalu memperhatikan) sebab atau usaha itu menodai kemurnian tauhid. Tidak percaya bahwa sebab adalah sebab adalah tindakan merusak akal sehat. Tidak mau melakukan usaha atau sebab adalah celaan terhadap syariat (yang memerintahkannya). Hamba berkewajiban menjadikan hatinya bersandar kepada Allah, bukan bersandar kepada usaha semata. Allahlah yang memudahkannya untuk melakukan sebab yang akan mengantarkannya kepada kebaikan di dunia dan akherat” (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 8/528)

MENGORBANKAN HARTA JIWA DAN RAGA DIATAS JALAN ALLAH BUKANLAH KEBINASAAN

Ayyuhal ikhwah dalil-dalil diatas (menghindari ancaman dan menempuh jalan-jalan keselamatan) tidak menafikan apa-apa yang ada ditangan allah ta’ala itu sesungguhnya lebih utama, jika seseorang berharap dalam sabarnya keutamaan disisi allah ta’ala. Berharap padanya syahid, berharap padanya  pahala yang sangat banyak dari sedekah yang dikeluarkan maka balasan disisi allah ta’ala adalah tentunya lebih utama. Sehingga tidak tepat jika dalil-dalil diatas dipertentangkan dengan keutamaan sedekah sebagaimana abu bakar as siddiq radiyallahu anhu yang menyedekahkan seluruh hartanya, ini bukan kebinasaan, dia yakin dengan se yakin-yakinya apa yang ada di tangan allah ta’ala anhu, tidak dikatakan menjerumuskan diri kedalam kebinasaaan seorang yang menerobos barisan musuh karena mengharap pahala syahid. Benar padanya ada riwayat batasan menyedekahkan harta itu tidak lebih dari 1/3 namun itu tidak menafikkan bolehnya sebagaimana apa yang diperbuat oleh abu bakar radiyallahu anhu. Tidak sama antara keutamaan yang diperoleh oleh yasir istrinya dan anak bungsunya anis dengan apa yang di terima oleh ammar anaknya yasir yang terpaksa harus mengucapkan kalimat kekafiran, untuk dapat terlepas dari ancaman yang mematikan.

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Al Baqarah (2) : 195

عن جابررضى اللّه عنه قال : قال رجل للنّبىّ صلى اللّه عليه وسلّم يوم أحد : ارأيت إنقتلت فأين انا ؟ قال: فى الجنّة، فألقى تمرات كنّ فى يده ثمّ قاتل حتّى قتل -متفقعليه

Dari Jabir ra., ia berkata : “Pada perang Uhud, ada seorang yang bertanya kepada Nabi saw.: “Apakah engkau tahu dimanakah tempatku seandainya aku terbunuh?” Beliau menjawab :“Di  dalam  surga.”  Kemudian  orang  itu  terus  melemparkan  biji-biji  kurma  yang  ada  ditangannya lalu dia maju perang sehingga mati terbunuh.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Harap diperhatikan yaa ikhwati fillah, banyak yang memotong kisah ini dan mensalah tafsirkan ayat ini (2:195) bahwa diantaranya bersedekah berlebihan dan berperang menembus barisan musuh adalah bagian dari menjerumuskan diri kedalam kebinasaan. Diantara mereka memotong atau menuki  keterangan dibawah ini hanya sebatas “seorang laki-laki menerobos barisan musuh adalah kebinasaan”

Ibnu Abu Hatim mengatakan, hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Lais ibnu Sa'd meriwayatkan dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Aslam Abu Imran yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari kalangan Muhajirin ketika di Qustantiniyah (Konstantinopel) maju sendirian melabrak barisan musuh hingga dapat menerobosnya (lalu kembali lagi), sedangkan bersama kami ada Abu Ayyub Al-Ansari. Maka orang-orang mengatakan, "Dia telah menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan." Maka Abu Ayyub menjawab, "Kami lebih mengetahui tentang ayat ini, sesungguhnya ia diturunkan berkenaan dengan kami. Kami selalu menemani Rasulullah Saw. dan kami ikut bersamanya dalam semua peperangan, dan kami bantu beliau dengan segala kemampuan kami. Setelah Islam menyebar dan menang, maka kami orang-orang Ansar berkumpul mengadakan reuni. Lalu kami mengatakan, 'Allah telah memuliakan kita karena kita menjadi sahabat Nabi Saw. dan menolongnya hingga Islam tersebar dan para pemeluknya menjadi golongan mayoritas. Kita lebih mementingkan Nabi Saw. daripada keluarga, harta benda, dan anak-anak kita.' Setelah perang tiada lagi, lalu kami kembali kepada keluarga dan anak-anak kami serta kami tinggal bersama mereka. Lalu turunlah firman-Nya: 'Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan ' (Al-Baqarah: 195). Maka kebinasaan itu terjadi bila kami bermukim mengurusi keluarga dan harta benda. Sedangkan jihad kami tinggalkan."

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmuzi, Nasai, dan Abdu ibnu Humaid di dalam kitab tafsirnya; dan Ibnu Abu Hatim, Ibnu Jarir, Ibnu Murdawaih serta Al-Hafiz Abu Ya'la di dalam kitab musnadnya; Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, dan Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya. Semuanya meriwayatkan hadis ini melalui Yazid ibnu Abu Habib dengan lafaz seperti yang disebutkan di atas.

Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan, sahih, garib. Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain, sedangkan keduanya tidak mengetengahkannya.

Menurut lafaz yang ada pada Imam Abu Daud, dari Aslam Abu Imran, ketika kami berada di Konstantinopel, pemimpin pasukan kaum muslim dari Mesir dipegang oleh Uqbah ibnu Amir, dan dari negeri Syam dipegang oleh seorang lelaki kepercayaan Yazid ibnu Fudalah ibnu Ubaid.

Maka keluarlah dari kota Konstantinopel sepasukan yang berjumlah sangat besar dari pasukan Romawi; kami pun menyusun barisan pertahanan untuk menghadapi mereka. Kemudian ada seorang lelaki dari pasukan kaum muslim maju menerjang barisan pasukan Romawi, hingga sempat memorak-porandakannya, dan masuk ke tengah barisan musuh, setelah itu ia kembali lagi ke barisan kami. Melihat peristiwa tersebut pasukan kaum muslim berteriak seraya mengucapkan, "Subhanallah, dia menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan!" Maka Abu Ayyub menjawab: Hai manusia, sesungguhnya kalian benar-benar menakwilkan ayat ini bukan dengan takwil yang semestinya. Sesungguhnya ayat ini hanya diturunkan berkenaan dengan kami, orang-orang Ansar. Sesungguhnya kami setelah Allah memenangkan agama-Nya dan banyak yang mendukungnya, maka kami berkata di antara sesama kami, "Sekiranya kita kembali kepada harta benda kita untuk memperbaikinya," maka turunlah ayat ini (Al-Baqarah: 195).

Abu Bakar ibnu Iyasy meriwayatkan dari Abu Ishaq As-Subai'i yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Al-Barra ibnu Azib, "Jika aku maju sendirian menerjang musuh, lalu mereka membunuhku, apakah berarti aku menjerumuskan diriku ke dalam kebinasaan?" Al-Barra menjawab, "Tidak, Allah Swt. telah berfirman kepada Rasul-Nya:

فَقاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ

'Maka berperanglah kalian pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri' (An-Nisa: 84).

Sesungguhnya ayat ini (yakni Al-Baqarah ayat 195) hanyalah berkenaan dengan masalah nafkah."

Ibnu Murdawaih meriwayatkannya pula, dan Imam Hakim telah mengetengahkannya di dalam kitab Mustadrak melalui hadis Israil, dari Abu Ishaq; dan Imam Hakim mengatakan bahwa hadis ini sahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Imam Turmuzi meriwayatkannya, begitu pula Qais ibnur Rabi', dari Abu Ishaq, dari Al-Barra. Kemudian Al-Barra menuturkan hadis ini,dan sesudah firman-Nya: Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. (An-Nisa: 84) Ia mengatakan, "Kebinasaan yang sesungguhnya ialah bila seorang lelaki melakukan suatu dosa, sedangkan ia tidak bertobat darinya. Maka dialah orang yang menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan."

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Saleh (juru tulis Al-Lais), telah menceritakan kepadaku Al-Lais, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Khalid ibnu Musaflr, dari Ibnu Syihab, dari Abu Bakar ibnu Numair ibnu Abdur Rahman ibnul Haris ibnu Hisyam, bahwa Abdur Rahman Al-Aswad ibnu Abdu Yagus telah menceritakan kepadanya bahwa mereka mengepung kota Dimasyq (Damaskus). Maka berangkatlah seorang lelaki dari Azdsyanuah, ia maju dengan cepat menerjang musuh sendirian. Kaum muslim mencela perbuatannya itu, lalu perkaranya dilaporkan kepada Amr ibnul As (panglima pasukan kaum muslim). Kemudian Amr mengirimkan pesuruh untuk menyuruhnya kembali (ke barisan kaum muslim). Ketika lelaki itu datang ke hadapannya, maka Amr membacakan kepadanya firman Allah Swt.: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195)

Ata ibnus Saib meriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan takwil firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini bukan berkenaan dengan masalah perang, melainkan berkenaan dengan masalah membelanjakan harta, yaitu bila kamu genggamkan tanganmu, tidak mau membelanjakan harta di jalan Allah, maka dikatakan, "Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan."

Hammad ibnu Salamah meriwayatkan dari Daud, dari Asy-Sya'bi, dari Ad-Dahhak ibnu Abu Jubair yang menceritakan bahwa orang-orang Ansar biasa menyedekahkan dan menginfakkan sebagian dari harta mereka. Pada suatu ketika paceklik menimpa mereka, karena itu mereka tidak lagi membelanjakan hartanya di jalan Allah. Lalu turunlah ayat ini: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195)

Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya:  Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Yang dimaksud ialah sifat kikir.

Sammak ibnu Harb meriwayatkan dari An-Nu'man ibnu Basyir sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Maksudnya ialah ada seorang lelaki melakukan suatu dosa, lalu ia mengatakan bahwa dirinya tidak akan diampuni. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

Demikianlah menurut riwayat Ibnu Murdawaih.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaidah As-Salmani, Al-Hasan Al-Basri, Ibnu Sirin, dan Abu Qilabah hal yang semisal, yakni yang semisal dengan apa yang telah diceritakan oleh An-Nu'man ibnu Basyir. Yaitu bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang melakukan suatu dosa, lalu ia berkeyakinan bahwa dirinya tidak akan diampuni. Karena itulah dia menjerumuskan dirinya ke dalam kebinasaan. Dengan kata lain, karena dia merasa tidak akan diampuni, maka ia memperbanyak berbuat dosa, dan akhirnya dia binasa. Karena itulah Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang pernah mengatakan bahwa kebinasaan adalah azab Allah.

Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakr, dari Al-Qurazi (yaitu Muhammad ibnu Ka'b), bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini: Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Ada suatu kaum yang sedang berjuang di jalan Allah, dan seseorang dari mereka membawa bekal yang paling banyak di antara teman-temannya. Lalu ia menginfakkan perbekalannya itu kepada orang yang kekurangan, hingga tiada sesuatu pun yang tersisa dari bekalnya untuk menyantuni teman-temannya yang memerlukan pertolongan. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195)

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadanya Abdullah ibnu Ayyasy, dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan firman-Nya: Dan belanjakanlah (harta benda kalian) di jalan Allah, dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian ke dalam kebinasaan. (Al-Baqarah: 195) Demikian kisahnya, bermula dengan sejumlah kaum laki-laki yang berangkat mengemban misi yang ditugaskan oleh Rasulullah Saw. ke pundak mereka tanpa bekal. Ketiadaan bekal mereka adakalanya karena mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai mata pencaharian, atau adakalanya karena mereka adalah orang-orang yang mempunyai banyak tanggungan. Maka Allah memerintahkan kepada mereka untuk meminta perbelanjaan dari apa yang telah direzekikan Allah kepada mereka (kaum muslim), dan janganlah mereka menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan.

Pengertian binasa ialah bila mereka yang bertugas mengemban misi ini binasa karena lapar dan dahaga atau karena jalan kaki. Allah Swt. berfirman kepada orang-orang yang mempunyai harta berlebih: Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

Kesimpulan dari makna ayat ini ialah perintah membelanjakan harta di jalan Allah dan semua jalan taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah) dan taat kepada-Nya, khususnya membelanjakan harta untuk memerangi musuh, kemudian mengalokasikannya buat sarana dan bekal yang memperkuat kaum muslim dalam menghadapi musuh-musuh mereka. Melalui ayat ini Allah memberitakan kepada mereka bahwa jika hal ini ditinggalkan, maka akan berakibat kepada kehancuran dan kebinasaan bagi orang yang tidak mau membelanjakan hartanya untuk tujuan tersebut. Kemudian di-'ataf-kan kepada perintah berbuat baik, yang mana hal ini merupakan amal ketaatan yang paling tinggi. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al-Baqarah: 195)

Kisah Mushab Bin Umair yang rela meninggalkan segala keindahan dan kesenangan dunia untuk dapat istiqomah dalam islam, mungkin akan membuka hati kita akan keutamaan ini, dan bukanlah suatu kebinasaan itu yang dimaksud oleh nafsu/keinginan manusia melainkan padanya syari’at menegaskan balasan atas setiap perjuangan terhantung dari besar dan kecilnya ujian yang diterima.

Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).

 “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).

Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).

Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang sama:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).

Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh Muhammad”.

Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di sisi Allah.

Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah, tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”

Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”

Ayyuhal ikhwah, kesimpulan dari bab ini, “Menghindar dari Ancaman Dengan Melalui sebab-sebab Keselamatan yang dibenarkan oleh syari’at Bukanlah kesyirikan” dan juga sebaliknya menempuh jalan kesengsaraan untuk tetap istiqomah diatas jalan Allah bukanlah jalan kebinasaan. akan erat kaitanya dengan satu ushul Fiqh “Maslahah wal mursalah” dan “Fiqhul Waqi” sehingga padanya tidak dapat di samakan hukum-hukumnya pada masing-masing kejadian.  Melawan dan mengingkari ancaman tentu saja lebih utama namun disaat tidak memiliki kekuatan dan hanya akan berakhir pada perlawanan yang sia-sia maka menghindarinya tentunya lebih utama. Menyelamatkan akidah tentunya lebih utama untuk sekuat tenaga dipertahankan agar tidak terjatuh kepada kekafiran, adakalanya memilih dosa yang lebih kecil menjadi pilihan pada waqi yang sedang dihadapi, menimbang mana yang lebih utama untuk di sedekahi antara keluarga dan selainya dapat kita lihat situasi nya jika perang fiisabilillah sedang berlangsung maka membekali para mujahid dan digunakan untuk memperkuat operasional pertahanan di perbatasan untuk keselamatan umum tentunya lebih utama agar lebih diutamakan untuk di serahkan padanya harta zakat infaq dan shodaqoh itu daripada keluarga atau tetangga.